Kamis, 19 Juli 2012

Coming Back Home


" Home is a place where you feel more comfortable. Home is a place where you can be and find your self" 
-dikutip dari sebuah travelogue by Windy Ariestanty-

   
    Dua bulan terakhir ini saya sedang berusaha memaknai konsep Rumah. Rumah yang saya maksud bukan hanya yang berupa bangunan seperti yang familiar oleh orang untuk pahami dan mudah diingat. Tapi makna yang lebih mendalam lagi.

    Mungkin kalian yang membaca ini sudah sering membaca tulisan serupa. Tulisan yang berbicara mengenai proses pemaknaan suatu perjalanan hidup yang lebih mendalam dan sangat menyentuh. Tapi saya bukan penulis yang baik. Entah apa yang membuat saya saat ini tiba-tiba ingin menulis kembali, mungkin jawabannya ya hanya satu...hasrat kembali pulang ke rumah.

    Meskipun di awal saya menyebutkan saya memulainya dua bulan terakhir ini, tetapi sebenarnya ini sudah dimulai sejak 3 tahun yang lalu. Sejak saya pindah ke sebuah rumah dan "menemukan kembali rumah". Untuk hal yang pertama, cerita ini bermula ketika akhirnya kami memutuskan untuk pindah rumah ke daerah yang dianggap lingkungannya lebih nyaman oleh orangtua. Saya menolak habis-habisan dengan alasan kenapa pindah ke tempat yang lingkungannya lebih sepi & terkesan individualis tersebut? Padahal di tempat saya tinggal pada waktu itu suasana hangat yang sudah terbangun 13 tahun bersama tetangga dan teman-teman sekolah yang mayoritas tinggal di perumahan itu juga. Meskipun ancaman untuk tetap tinggal disana meskipun orangtua pindah sudah diluncurkan, tetapi akhirnya saya pindah juga. 3 hari kemudian dengan nada yang sudah lebih pasrah dan ikhlas akan bertanya mengenai kepindahan rumah, akhirnya ibu saya menjawab " Rumah itu bukan masalah bangunannya, Luna. Asal kita bareng-bareng sama keluarganya ya itu namanya Rumah " dengan logat Sundanya yang khas. Untuk saya yang seorang keras kepala dan tidak mau kalah, itu salahsatu momen dalam hidup saya dimana saya terdiam. 

     Di satu sisi, pada saat itu saya merasa senang karena entah kenapa saya merasa dewasa. Diberi serangkaian kata yang tampak seperti kalimat-kalimat di novel yang jarang sekali saya dan orangtua lakukan karena dinilai picisan. Tapi di sisi lain, saya ingin menangis. Saya sadar bahwa di keluarga ini bukan hanya saya yang sedih atas kepindahan tersebut. Setiap orang di keluarga kami yang terdiri dari saya, ayah, ibu, seorang adik, bibi, kakek, dan bahkan kucing-kucing peliharaan juga pasti sedih dan sulit menerimanya. Hanya saja, saya yang lagi-lagi tidak mau kalah. Bukan dari siapa-siapa, tapi dari keinginan saya sendiri. Mengingat alasan kenyamanan lingkungan yang diusung sebagai alasan pindah saat itu menjadikan pindah rumah sebagai "kebutuhan".